Pasca Pengumuman Keberangkatan


Sekitar 25 menit sebelum penghabisan masa satu hari dalam perhitungan masehi, tepat pukul 23.35 beberapa hari yang lalu, empat, sebuah pengumuman yang menjawab pertanyaan klise dan selalu diulang-ulang atau bahkan dinanti-nanti oleh banyak pihak, resmi keluar : kepastian keberangkatan.

Informasi ini ibarat angin sembilir yang menyejukkan orang ditengah badai panas, sekaligus  menyesakkan bagi segolongan yang padanya demam sedang bersemayam. Ada yang bersuka cita, pun tidak sedikit yang berduka.

Keberangkatan diundur. Sebab satu dua hal masalah teknis, seat yang telah dipesan tanggal 23 menjadi hangus. Mundur (lagi) 2 hari. Walhasil, angka 25 menjadi tanggal pasti keberangkatan kami. Salah satu teman berjuang dari sekolah seberang, Ulinnuhay, sempat menyampaikan sambat pada saya. Sedih dan sedikit kecewa. Hmm, to be honest, i felt the same with her.

Ya, walau harus diakui serta disyukuri, seperti tanggapan salah seorang sahabat, masih dikasih waktu berlama-lama menginjakkan kaki dinegeri sendiri. Sama sekali saya tidak menyangkal, hanya saja, tanpa komitmen dan kemauan kuat untuk memberi arti pada sekumpulan sisa-sisa hari, sama halnya dengan membiarkan separuh diri saya terjerembab  ke dalam jurang kesia-siaan, lalu mampus dikoyak gabut dan digerogoti waktu selo. Suatu keadaan yang saya wanti-wanti supaya tiada terjadi.

Sedikit waktu selo  bagi para aktivis ialah nikmat untuk sekedar beristirahat. Bagi saya, yang demikian ialah laksana ancaman yang membawa segenap laknat.

Selain itu, diantara sebab yang menjadikan saya sedih dalam menerima kabar tersebut ialah semakin sedikitnya waktu bimbel tahdid mustawa. Awal Oktober depan, kami (biidznillah) calon mahasiswa baru Al-Azhar harus menghadapi tes tahdid mustawa untuk menentukan pada tingkat berapa kemampuan kita. Pihak PCIM sudah sedia modul dan sumber daya, hanya ketika waktu tiba mundur, semakin sedikit untuk persiapan. Bisa saja saya mencicil belajar sejak dini, namun selain betapa abot (hehe), belajar dengan guru, seperti kata ulama dahulu, akan lebih meringkas waktu dan memperkecil kesalahan.

Sedikit banyak untuk persoalan ini memang perlu siasat. Maka dalam benak saya, mau tidak mau, mengandalkan waktu malam yang panjang. Untuk tidak meringkas waktu malam dengan banyak terlelap, dibutuhkan latian atau pembiasaan. Semoga, setidaknya disisa waktu yang ada, saya kian bersahabat dengan waktu syahdu tatkala sebagian banyak manusia terlelap. Fahri saja, semalam rampung paper 41 halaman tanpa tidur bisa, masak iya saya ndak sanggup? Hehe.

Saya rasa ini selesai. Intinya, kalau kata Fahri, kejam terhadap diri sendiri dan sedikit tegas dengan orang lain. Maka buah kebahagian ialah suatu keniscayaan yang menanti waktu berbicara pada saatnya.

Namun,

Belum selesai.

Ada satu kegelisahan dan ketakutan yang saya harap tidak terjadi sejak malam diumumkannya itu, sampai pula pada kenyataan.

Tanpa fafifu, malam itu juga, pasca informasi keberangkatan fix tanggal 25, tangan saya lihai bergerak mengusap layar mengakses traveloka. Sebab take off dari Jakarta, maka saya mensortir akses ke ibukota kisaran tanggal 22-24. Ada tiket kereta, 350K paling murah. Pesawat bahkan lebih ekonomis, 330K sudah dapat. Akan saya diskusikan dengan orangtua besok. Hati kecil saya berkata, sebisa mungkin malam dari Yogyakarta.

Esok harinya, diruang makan ketika sarapan bersama, saya sampaikan kepastian berangkat serta opsi tiket yang sudah saya carikan. Semua opsi ialah berangkat malam dari Yogyakarta, baik kereta atau pesawat. Sebab terdapat keinginan yang amat mengakar untuk bersua beberapa teman dekat yang (saya percaya) nama saya selalu lirih disebut dalam doa mereka, sebelum benar-benar payah untuk bertatap kembali. Itu saya jelaskan pula, sambil sedikit mendesak agar tiket segera dipesan.

“Yo nanti dulu le, yang sabar. Bapak-ibuk juga punya kerjaan. Nanti dilihat dulu,” ibu saya menimpali. Saya mengangguk sambil mempertanyakan bilamana telah fullbooked. “Nggih mpun, pokoknya liat dulu nanti,” kata beliau, “nek penuh, pakai bis juga malah nyante to Le,”. Hmmm. Saya ingin mendesak lagi, namun urung sebab memungkinkan perdebatan kecil yang seharusnya tidak perlu.

Sejak itu, saya kuatkan tekad untuk dalam-dalam mengetuk pintu langit demi harapan saya. Bagaiamana agar keinginan saya, teman-teman, dan orangtua dapat berjalan beriringan. Harapan saya—juga beberapa teman-teman—ialah agar jadwal keberangkatan tidak berbenturan dengan jadwal kuliah teman-teman. Sebab tidak henti-hentinya, dan yang membuat saya cukup haru, bergantian mereka bertanya perihal kapan berangkat dan meminta kabar secepatnya. Maka saya memilih malam, yang memungkinkan terjadinya banyak pertemuan dan perbincangan, sebelum resmi terbentang jarak yang menghampar.

Dan ketakutan itu benar-benar terjadi. Betapa cukup kaget saya mendapat kabar bahwa ternyata keberangkatan ke Jakarta dengan mobil yang senang hati budhe saya meminjamkan. Saya masih agak tenang awalnya. Semoga malam dan bisa mampir di Yogyakarta. Saya mencoba memutar otak. Ingin rasanya memiliki momen khusus bersama teman-teman dalam sebuah pertemuan, walau sejatinya itu perpisahan.

Akhirnya satu dua opsi saya kantongi untuk dirembug dengan orangtua. Besarnya harap saya, sampai-sampai ingin saya berkata, “Pak, Buk, mohon sekali permintaan saya ini dipenuhi. Bukane pripun-pripun, teman-teman sudah mengajari banyak hal, menolong tanpa henti, dan mendoakan selalu. Mereka sudah seperti keluarga bagi saya. Selain satu ini, saya manut mpun,”

Namun, belum sampai opsi saya tawarkan, alih-alih kata-kata tersebut keluar, Ibu sudah mengabari berangkat siang dari Klaten dan langsung ke Jakarta. Sudah dengan pertimbangan keluarga, kata beliau. Saya mencoba menawar, tidak bisa. Sudah mutlak sebab sudah menghubungi saudara yang di Jakarta pula.

Seketika hati saya seperti mengempis ditusuk jarum berkali-berkali. Saya mengambil nafas dalam-dalam. Rasanya seperti sesak tidak karuan mengetahui pupusnya harapan saya untuk berjumpa teman-teman di momen penghabisan.

Bayangan-bayangan yang sempat terbersit sebelumnya, bergantian berkelindan dalam pikiran. Seperti diantar ramai-ramai di bandara atau stasiun, berpelukan hangat sebelum berangkat, dialog terakhir untuk perpisahan sementara waktu, bahkan airmata melepas yang tidak saya tau apakah benar-benar akan jatuh, pun lain sebagainya. Itu semua, tinggalah mimpi indah di siang hari.

Kecewa saya makin berat, mendapati reaksi beberapa teman yang juga menyesalkan keputusan orang tua. “Wah kok nggo Mobil e Dan,” “Tenan ra neng Jogja sek?” “Yah, kok gitu sih” dan semacamnya. Literally, sedikit saya menyesalkan orangtua yang tidak mau kompromi.

Ya, saya mencoba menerimanya, walau tidak mudah. Harapan tinggi yang tidak sesuai kenyataan seringkali meninggalkan luka. InsyaAllah hanya soal waktu, kata hati saya menguatkan.

Saya butuh dua hari, untuk benar-benar berdamai dengan keadaan. Pertama saya sadari bila ikhtiar langit memang tidak maksimal. Kedua, seorang teman dekat saya, Zaky Faturrahman, mengingatkan sambil berkata, “Rapopo Dan, koe kudu berangkat dari tempat dimana kamu telah dilahirkan dan dibesarkan,”

Ketiga, setelah beberapa kali merenung, maha suci Allah, saya punya hati diberi sadar pula. Salahkah bila mana orang tua berharap benar ingin mengantar sampai ujung penerbangan? Apakah egois bila mereka ingin membersamai momen-momen keberangkatan dengan lebih khidmat diatas mobil, sebelum benar berpisah untuk jangka waktu yang tidak pasti? Ah, lagi-lagi saya yang harus lebih belajar menyadari.

Keduanya yang sejak kecil membersamai, mendidik, menyediakan kasih-sayang seluas hamparan yang tiada terhitung, tentu harus lebih diutamakan dari teman-teman yang tidak pasti satu dasawarsa menemani. Belum lagi ketika berkaca pada momen wisuda, ketika teman-teman luar saya datang, luntur perhatian saya pada orangtua yang berharap diri saya membersamainya. Berkali-kali saya mengecewakan. Dan seharusnya saya insyaf, keduanya tidak lain hanyalah ingin waktu terakhir dengan anak pertamanya berkesan dan penuh makna, sebelum susah untuk bersua atau sekedar sarapan bersama.

Bapak, Ibu, maafkan anakmu yang sering mengecewakan.


Klaten, 12 September 2017
Diselesaikan di kamar kesayangan,
23.12 WIB

Komentar

VIEWERS

Postingan Populer