MUTIARA AYAT-AYAT CINTA (1)


Pada akhirnya, setelah mencoba berlama-lama menikmati membacanya, sepagi ini, novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy selesai untuk kali kedua. Tujuan dalam pembacaan kedua ini, selain untuk obat atas hati yang sedikit terlukai (hehe), ialah sebagai terapi motivasi, informasi, bahkan rerfrensi terkait saya punya hidup dan pandangan perjalanan ke depan, yang barangkali tiada jauh berbeda dengan kehidupan tokoh utama didalamnya. Hehe

Betapa perlahan kian subur dan terisi hati yang sempat kering dari nilai religi, ialah suatu kenyataan yang saya alami. Dari novel tersebut, saya banyak belajar tentang bagaimana meletakkan atau menata hati, ketika sesuatu yang sering disebut cinta melanda sebagai sebuah kewajaran, agar tiada didalamnya hati terlena, lebih-lebih kecewa. Dorongan untuk beibadah penuh makna, juga diantara manfaat yang amat terasa. Maka tidak heran, sastrawan Ahmad Tohari, menyebutnya sebagai novel pembangun jiwa.

Melalui tokoh utama Fahri, yang merupakan satu-satunya mahasiswa asing (luar mesir) yang berkesempatan bertalaqqi dengan Syaikh Ustman di Shubra, sesuatu mencekik saya. Betapa menyelesaikan halafalan Alqur’an ialah suatu tujuan yang mulia, walau sedemikian tidak mudahnya. Seperti diceritakan, tidak semua mahasiswa dapat mengkaji keluasan ilmu beliau. Tercatat, hanya 10 murid yang diterima setiap angkatan. Sejak permulaan di Al-Azhar, Fahri telah menyetorkan hafalan dan menyelesaikannya. Sesuatu yang selama ini amat sangat saya tunda, tanpa saya tau sampai batas mana diberi usia. Allah.

Seringkali sebenarnya, hati saya tergerus tidak karuan manakala menyaksikan realita sejarah menampilkan sederet nama ulama dan pemikir besar telah menapaki jalur yang luar biasa sedari belia. Imam Syafi’i dan Ibnu Khaldun, keduanya 7 tahun sudah hafal Al-qur’an. Imam Nawawi menyelesaikannya sebelum baligh. Dr. Yusuf Qordhowi hafal seluruhnya sebelum 10 tahun. Bahkan, Fazlurrahman, yang cukup kontroversial pemikirannya, telah hafal diluar kepala memasuki usia 10 tahun.

Sementara saya yang beberapa taun lagi berkepala dua, alih-alih selesai, seperempat saja belum dapat. Hal ini diperparah dengan api yang tak kunjung menyala sebagai motivasi, ketika mengetahui anak kecil indonesia seperti Musa, misalnya, yang sedari kecil telah hafidz dan mengharumkan nama Indonesia.

Maka jikalau mimpi dan cita-cita saya menjelma sebuah idealisme yang coba dengan kokoh saya bangun fondasinya, sejujurnya, lebih dekat kepada kandas atau runtuh terbentur realitas. Mimpi saya elok menggapai langit, sementara usaha mewujudkannya tak kunjung lepas dari dasar laut. Disitu, saya sering gelisah. Apakah mimpi hanya sebatas retorika tanpa bukti nyata?

Bagaimanapun, tidak ada jalan lain selain menatapnya dengan penuh percaya diri serta tekad yang kuat membara. Tidakmenjadi soal kesampaian atau tidak untuk saat ini.Yang jelas, saya masih harus percaya pada kekuatan mimpi. Setidaknya, kesadaran akan kekurangan mengantar pada tindakan untuk memantaskan.

Oleh karenanya, barangkali melalui goresan pena Kang Abik, sedikit daripada saya punya khawatir cukup terobati. Masa satu tahun pertama yang diisi dengan daurah lughah atau pendalaman sebelum resmi kuliah, memungkinkan terjadi banyak waktu kosong. Ini seperti mata pisau yang harus pandai mengambil manfaat bila tidak hendak terkena laknat. Ada sedikit kebimbangan : aktif memperluas relasi atau menambah hafalan Al-Qur’an? Dan kini, sebab inspirasi dalam pena Kang Abik tersebut, kian mantap saya menjatuhkan pada pilihan terakhir.

Mengapa tidak dua-duanya?

Mungkin yang demikian tidak mustahil, namun melaksanakannya ialah titian tali yang ditempuh kian kecil. Amat susah sebagai aktivis yang bejibun urusanya, menyediakan waktu khusus menambah hafalan. Demikian sebaliknya. Mungkin muraja’ah dapat, tapi saya yakin tidak maksimal. Baru sekejap muraja’ah, pikiran sudah melayang harus kontak ini, koordinasi itu, ketemu orang, dlsb. Walhasil, sampailah saya pada pemahaman harus menyediakan waktu khusus yang cukup lama, sebelum kecewa ditelan usia.

Kalau ditanya mengapa sebegitunya mengejar rangking di kelas dulu, maka saya menjawab, “membanggakan orang tua memang tidak harus pakai nilai akademik, tapi orang tua mana sih yang tidak bangga kalau anaknya rangking? Kalau orang tua bahagia, kita berpahala sebab menyenangkan hati mereka,”

Maka, barangkali kiranya diantara motivasi para hafidh yang berjuang dengan keras menghafalkan, tiada jauh berbeda,

“mendoakan orang tua mungkin banyak membantu keduanya di akhirat, namun semua bisa melakukannya. Dan, betapa akan bahagia orang tua manakala diakhirat kelak, disandangkan pada mereka pakaian kemuliaan yang  tidak dapat dibeli oleh penghuni dunia manapun, kebahagiaan sejati yang tidak dirasa didunia, kebahagiaan merekah yang tiada bandingannya, yang hanya didapati manakala anaknya menghafal dan mengamalkan Al-Qur’an”

Semoga ini menjadi self reminder bagi saya, dan semoga pula, kita semua berkemauan dan berkesampaian menghafalkan dan mengamalkannya. Aamiin

 “Kitab itu (Al-Qur’an), tidak ada sama sekali keraguan didalamnya. Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa ....... “ (Al-Baqarah : 2)


Diselesaikan di
Klaten, 20 September 2017
01.07 WIB



Komentar

VIEWERS

Postingan Populer