Pelampiasan Rindu
Ini bukan soal wanita atau romantisme cinta laki-perempuan. Tidak
perlu berepot-panik menerka demikian, Tuan.
Sedikitpun tak terbersit niatan untuk menulis. Namun, kesenggangan
3 hingga 5 menit kali ini menggerakanku untuk buka laptop, lampiaskan. Sekarang
pukul 02.41 dini hari. 2 jam terlelap diawal malam, waktuku sia-sia sementara
kawanku belajar. Kini giliranku belajar, sementara mereka beristirahat. Niat
menyudahi belajar kuurungkan setelah sejenak tak sengaja memandangi koleksi galeri. Pikiranku
melayang kebelakang, sesekali tersenyum simpul mengenang. Sunyi sepoi malam yang
lagi-lagi membelai mengantarkanku pada keputusan : aku rindu.
Ketika bulan suci berlalu bersama wajah-wajah baru, menapaki
sekaligus menafakuri belahan bumi lain yang belum terpijak kala itu, warna-warni suasana dakwah serta belajar kebudayaan lain. Singkat kata, kepada Negeri Jiran, perkenankan saya mengenang.
***
Ini kisah di hari ketiga belas, tertanggal 19 Juni 2017.
Siang itu pertamakalinya aku solat dzuhur di surau umum. Hanya beberapa puluh meter dari gedung Khalifa Model School. Walaupun tak luas, aku menikmati pengabdianku pada ilahi di tempat itu. Selepas sholat, kusempatkan membaca Alqur'an. Dalam hal ini, tak perlu menunggu waktu luang untuk baca Qur'an. Tapi sengajakanlah. Nikmatilah berinteraksi dengan buku panduan terhebat didunia. Saat membaca qur'an pikiranku malah melayang-layang kemana-mana. Yaa walaupun tidak baik, tapi bagaimanapun, inilah cikal bakal catatan unik hari itu akan terukir . "Kalau gini terus, nggak banyak kudapatkan disini. " pikirku saat itu.
Kamarku berada di lantai empat gedung sekolah ini, ya sedikit mirip flat apartemen gitu ehe. Sesampainya di kamar, kuutarakan apa yang ada dipikiranku kepada partnerku, Toni. Tanpa banyak pertimbangan, kami bersepakat untuk merealisasikanya. Beruntung aku memiliki kawan sesama nekat. Ide segemilang apapun tak ada artinya kalau diwaktu yang sama tak ada keberanian mewujudkanya.
Saat itu pukul 15.40 WM, kami sepakat harus banyak pengalaman. Bagaimana caranya? Kami harus tersesat! Rumus yang padat, namun tidak sederhana penjabaranya. Ada waktu 20 menit untuk bersiap siap sebelum berangkat pukul 4. Hari itu kami rencanakan perjalanan menuju Masjid Putrajaya. Salah satu pusat peradaban di Malaysia, setelah negeri Kuala Lumpur. Sebenarnya, beberapa hari yang lalu sudah kesana dengan diantar hanya sebagai pasengger yang tidak tau jalan. Namun kali ini kami nekat menuju kesana lagi sebagai seorang driver yg berusaha memahami jalan. Bukan naik busway , IRL, atau alih-alih mengendarai motor. Kendaraan kami, sandal!
Kubuka google maps di gadget dan kucari alamat masjid Putrajaya.
19 KM dan dalam waktu 4 jam 30 menit, adalah angka yang kudapati di gadget.
Sebenarnya kami sudah ditawari ketika hendak berpamitan untuk diantar. Sambil
terheran-heran warden kami juga menyarankan kendaraan lain, misalnya. Tapi
bukan itu surga yang aku rindukan muehehe, kami sebagai manusia biasa
ingin memiliki pengalaman yang tidak biasa. Kurang lebih demikian.
Pukul 4 kami berangkat membawa bekal seperlunya untuk 2 hari satu malam. Berdandan layaknya petualang. Jalan tol, jalan raya, sampai jalan pedesaan kami sambangi. Hangat-hangat berangin cuaca saat itu. Berjumpa dengan sekumpulan budak budak, demi menyaksikan senyum ikhlas tanpa intervensi (ehem) mereka yang sedang bermain. Tulus sekali tanpa beban. sesekali, mereka menggoda kami yang lewat dengan logat khasnya sambil memukul-mukul. Sebersit bahagia bersemayam. Perkiraan, kami akan tiba pukul 9 malam sudah dengan kemungkinan istirahat dan solat.
Mampir sejenak ke shell(pombensin) untuk istirahat dan solat ashar. Mendadak telepon berdering. Betapa terkejutnya aku mendengar diujung suara terdengar sesenggukan perempuan menangis. Salah satu rekanku ditimpa permasalahan pelik. Terpaksanya, beberapa waktuku habis untuk menjawabnya. Namun, sedikitpun aku tidak kecewa dapat membantu, walaupun sebenarnya tidak menyelesaikan.
Hari kian petang, semburat merah terpancar jelas dari arah barat. Semakin banyak kendaraan melintas di jalan tol menyapa kami. Mayoritas adalah kereta(mobil) pribadi, dibanding dengan yang lainya. Apalagi motor, sepi mata kami menangkap keberadaanya. Kami coba mengkalkulasi lagi. Sepertinya bakal lebih dari target, sekarang pukul 19.00 dan sepertiga perjalanan saja belum dapat. Layar di gadget menunjukan masih 3 jam 15 menit untuk sampai tujuan.
Hari kian petang, semburat merah terpancar jelas dari arah barat. Semakin banyak kendaraan melintas di jalan tol menyapa kami. Mayoritas adalah kereta(mobil) pribadi, dibanding dengan yang lainya. Apalagi motor, sepi mata kami menangkap keberadaanya. Kami coba mengkalkulasi lagi. Sepertinya bakal lebih dari target, sekarang pukul 19.00 dan sepertiga perjalanan saja belum dapat. Layar di gadget menunjukan masih 3 jam 15 menit untuk sampai tujuan.
Setengah sebelas? Ini gila! Jalanan barang pasti semakin pekat, hawa
dingin kian menusuk tak bersahabat. Aku tidak takut sepenuhnya, walaupun kalau
dikata sedikit hmm bisa jadi ehehe. Tapi satu hal yang mengancam kami, ialah
tidak bisa menikmati tarawih di Masjid Putrajaya. Indah suara imam di masjid
itu ditambah dengan menawannya arsitektur yang menghias, ialah magnet bagi
kami. Moreover, disana sedia makanan berat haha, kan raib kalo jam setengah
sebelas baru sampai sana.
Akhirnya, kami putuskan membuat target pendek. Kami harus tarawih di sana! Bagaimanapun caranya. Tersisa satu jam, dan berjalan kaki sungguhlah hanya mimpi siang bolong untuk sampai. Menunggu taksi lewat mungkin bisa, tapi harus merogoh saku. Kami tak inginkan itu sekalipun kami ada. Lagipupa, hal yang biasa kan’ kalau naik taksi. Kami tidak sedikitpun tertarik dengan hal-hal biasa.
Nebeng!
Itulah yang terlintas dipikaranku. Memang ini bukan di Indonesia, dan aku tidak tau persis dapatkah melambaikan tangan sembari meminta mobil yang berlalu untuk berhenti. Disinilah tantanganya. Hal yang misteri memanggil untuk dicoba.
Tunggu dulu! Ini jalan tol. Kalaupun bisa, di indonesia saja hanya
ketika dijalan biasa bukan di jalan tol. Lebih-lebih kami tidak mengerti regulasi.
Bisa saja sudah diatur tidak boleh berhenti di jalan tol. Tapi apapun itu, I
don’t care! Selama belum bertanding, pantang untuk mengatakan kalah.
Maka coba kupraktekkan seketika. Satu kali, tidak berhasil. Wajar.
Mustahil langsung berhasil kecuali bagi orang-orang bejo. Dua, tiga kali, dan
berkali-kali tetap saja no respon. Malu dikit sih, minta minta perhatian tapi
tidak diperhatikan eaaks, tapi ya mau gimanalagi. Barangkali puluhan kali telah
kulakukan, dan sama saja masih nihil.
Sesekali pengemudi sambil lalu menatap sinis, biar!
Kebanyakan kereta pribadi. Artinya, cukup dikatakan tidak logis untuk kita campuri. Begitupun di
Indonesia. Truk atau pickup yang mendekati logis. Tapi ya sama saja. Sama sama
dikacangin. Hufet
Aku tidak menyerah sampai betul-betul kegilaan. Dengan berjalan mundur sambil terus berdada-dada layaknya orang gila, aku berharap para pengemudi memberi pertolongan atau paling tidak perhatian. Tak peduli mereka anggap aku ini lelaki tidak waras, toh sama-sama tak mengenal dan belum tentu jumpa lagi.Namun apalah daya Tuan, hanya ditengok sekejap untuk diabaikan kemudian. Hmmm. Keringat mengucur dari pelipis mencari-cari tempat yang lebih rendah. Ada yang tertahan meresap pada kain, sebagaimana beberapa yang terjun bebas mencium bumi.
Bahkan, ketika melihat kayu dipinggir jalan sempat terpikir
olehToni untuk melepas pakaiannya dan mengikatkannya pada kayu untuk dikibarkan
layaknya bendera demi mendapat perhatian pengemudi. Kami berkelakar bersama
melepas penat.
Tanpa kami sadari, sayup sayup lafal adzan pelan-pelan indah terdengar. Alhamdulillah. Kami berniat menuju ke tengah perbatasan jalan untuk berbuka. Ditengah-tengah antara kedua jalan yang berlawanan arah. Ada rerumputan tertata rapi disana. Agar—sekali lagi—buka puasa kami tidak biasa, begitu ehe. Belum sempurna langkah kami sampai, rupanya Allah berkehendak lain. Ada sejenis Lori (truck) yang berhenti di pinggir jalan.
"Maaf, Pak Cik, nak pergi kemana?" Tanyaku setelah
mendekat ke Lori.
Kemudian ia menjelaskan akan pergi ke suatu tempat. Seperti menebak maksud kedatangan kami, ia bertanya dimana saya tinggal dan hendak kemana. Setelah mendengar jawabanku, beliau melambaikan tangan isyarat tidak bisa. Beda jalur. Dari rona wajahnya tergurat keletihan tiada terkira. Ya sudahlah. Belum rejeki kami. Lagipula, siapa lah kami sehingga layak memaksa untuk diantarkan.
Betapa akal merdeka selalu menunjukkan tajinya. Hampir saja aku melupakan
satu hal : harus tarawih di Putrajaya! Titik. Betapapun mustahilnya. Aku
memutar otak sekejap lalu “naluri-naluri” itu meraung-raung bagai harimau tidur
dibangunkan. Suatu keharusan bagiku untuk tidak mengalah pada keadaan. Kesempatan
emas tidak datang dua kali. Sikat habis, atau persilahkan berlalu. Kami tidak
ingin yang kedua terjadi.
Maka kami tetap bergeming di tempat, membiarkan mata kami yang
berbicara. Sejenak kemudian beliau menggerakkan tangan kedepan seakan mengusir
halus, meminta waktu berbuka. Dia seorang muslim yang sedang berhenti untuk
buka puasa. Disinilah titik celahnya. Tepat sekali! Aku harus sentuh rasa
kepedulian beliau. Sambil menepi duduk manis dipinggir jalan dengan tetap memelas,
kami turut berbuka puasa. Satu dua bait doa kusisipkan. “Teet..Teet..” 2 kali
klakson dibunyikan. Nampaknya ini isyarat. Dan benar saja, kami dipersilahkan.
“Boleh, Pak Cik?” tanyaku basa-basi. Biasaa orang indon hehe.
“Joom! Putrajaya ‘kan?”
Allah memang maha segala maha. Kami diselimuti bertetes-tetes
kebahagiaan saat itu. Taklama lantas kami bertolak meninggalkan jalanan yang
mulai lengang tak bersinar lagi.
Yang kami kira dan harap ialah diantar setidaknya mendekati lokasi. Tapi siapa sangka beliau justru hendak mengantar kami sampai tempat tujuan, kendatipun ngalang sakpole. Baik betul Pak Cik tersebut. Benar-benar seperti bertemu Malaikat yang sengaja dikirim Allah untuk bantu hamba-hamba nya.
Namun, ada satu hal menarik. Sejak awal pakai google maps, ditengah jalan speaker suara berdering membetulkan, tanda jalur kami salah. Oh no! Itu yang tidak aku inginkan terjadi. Sengaja gadget tidak kukeluarkan. Padahal bisa saja aku memberi arahan melalui google maps, sebab Pak Cik tersebut juga belum pernah kesana. Tapi aku berfikir, kalo gadgetnya saja lumayan canggih gitu, terus datang dari indon ke Malay, masak iya ngga kuat bayar Taksi? malah ngerepoti gitu kan. Akhirnya ketika suara itu berbunyi lagi, dengan panik dan sedikit mengumpat (sopan) dalam hati, kududuki gadgetku keras-keras supaya suaranya tak terdengar lagi. Hehe. Asik kan. Terlalu eman kesempatan nebeng di negeri orang kalau harus dibatalkan.
Tibalah akhirnya kami di masjid Putrajaya, tepat sebelum sholat
isya dimulai. Malam itu kami benar-benar menjelma sebagai penjelajah.Tidak
hanya di Masjid Putrajaya, kami bahhkan berkeliling (berjalan) kota. Menikmati
Putrajaya di malam hari yang dalam hal ini mirip Jogja, ramai hingga larut. Dua jembatan besar
indah yang mengapit Masjid Putrajaya menyala-nyala elok dimalam hari juga kami
lewati. Hampir kami tidak tidur malam itu, kecuali 30-45 menit saja. Itupun
setelah tiba di Masjid lain yang tak kalah rupawannya, Masjid Tuanku Mizan
Zainal Abidin atau biasa disebut Masjid Besi. Maka ni’mat tuhanmu manakah
yang akan engkau dustakan?
“Hidup hanya sekali. Setir dirimu kemana
saja kamu belum berada. Resapi setiap detik warna-warni indah dunia. Bukankah
satu warna tak akan semenawan jutaan warna? Sebab, kamu adalah kamu dalam makna
sesungguhnya. “
(17 Juni 2016)
(17 Juni 2016)
***
Boleh cukup disayangkan, tidak satu tarikan nafas panjang pun
menyelesaikan tulisan ini malam itu juga. Lantaran satu dua hal, barulah
setelah 2x24 jam + 1 jam tulisan ini benar-benar terselesaikan, bersama rindu yang
tuntas terlampiaskan.
__________________________
Yogyakarta, 16 Maret 2017
Tuntas pada, 04.10 WIB
Tuntas pada, 04.10 WIB
Semanagit bos putrane pak jupri ya semangat
BalasHapus