Jalan Pemberontakan
“Tidak selamanya
pergerakan rakyat ada karena pemimpin bersuara. Sekian lembar catatan sejarah
membisikkan : justru pemimpin bersuara karena ada pergerakan. “
***
Rentetan
peristiwa yang menyapa belakangan, dimana sejatinya merupakan pengulangan dari
kejadian-kejadian, telah mengantar saya untuk bertemu dan bertamu ke ruang
direksi tanpa sukarela. Pendek kata, saya dipanggil.
***
Malam itu, angin sembribit yang sedang baik membelai wajah-wajah sejuk hambanya yang mendengungkan KalamNya di teras bangunan berpenghuni sekitar 163 jiwa. Mendung sedang tidak ada, dan sebagai gantinya bintang-bintang bertebaran seraya bertasbih mensucikan nama Allah. Bulan enggan kalah, sekalipun tidak dalam bentuk sempurna ia selalu menjadi sorotan utama dalam tasbihnya pada ilahi.
“Dan,
wis ngerti kabar terbaru?” sapa kholilullah yang baru saja keluar dari
ruang musyfrif dengan senyum sedikit mengenaskan.
“Terkait?” Saya hanya bisa memicingkan mata.
“Aksi
kita jadi perbincangan ramai guru dan pimpinan,” ucapnya kemudian.
Menghela
nafas dalam-dalam. Saya tersenyum simpul. “sudah kuduga” ucap saya dalam hati.
Memang
demikian seharusnya. Namun heran saya punya malahan menjadi resah. Dan
keresahan semakin basah ketika tidak lama setelah itu musyrif memanggil dan
menyampaikan pesan dari pimpinan sebagai munasabah dari kabar Kholil
sebelumnya, : Besok diminta menghadap wadir kesiswaan. Hmm baiklah.
Adalah
saat itu kawan saya, mujahid istiqomah dari pulai timur, Ifan Firdaus yang kala
itu dikontak adek kelas tingkat 4, Faiz Arwi, ikhwal kegiatan “Subuh
Berjamaah”, adakah digalakkan bersama? Tak lama berselang, ia diskusikan pada
saya bagaimana baiknya. Sejenak berfikir, menimbang berbagai kemungkinan,
hingga sampailah saya pada keputusan bahwa “ghirrah” tidak bisa ditunggu
dengan duduk santai, ia ada untuk dijemput!
Maka malam itu juga, atas inisiasi saya dan beberapa kawan, tanpa ba-bi-bu diadakan kumpul koordinasi menyambut kegiatan Subuh Berjamaah yang tinggal menghitung hari. Hadir saat itu, perwakilan kelas 3, 4, dan 5. Kita sepakat untuk menggerakkan masa menyongsong ghirrah melalui Subuh Berjama’ah. Kebetulan, saya yang memimpin rapat saat itu.
Maka malam itu juga, atas inisiasi saya dan beberapa kawan, tanpa ba-bi-bu diadakan kumpul koordinasi menyambut kegiatan Subuh Berjamaah yang tinggal menghitung hari. Hadir saat itu, perwakilan kelas 3, 4, dan 5. Kita sepakat untuk menggerakkan masa menyongsong ghirrah melalui Subuh Berjama’ah. Kebetulan, saya yang memimpin rapat saat itu.
Barangkali
perizinan merupakan perihal favorit yang rajin menyambangi saya. Kadangkala
menjengkelkan walaupun tidak jarang mudah saya taklukan. Dan dalam hal ini, clash
dengan madrasah hampir bisa dipastikan terjadi. Acara yang diinisiasi oleh PW
Pemuda Muhammadiyah DIY tersebut bertepatan dengan hari Ahad, ketika madrasah
tidak libur. Dan benar saja, alasan itupula yang dijadikan oleh madrasah,
selain berlindung dibalik “mana sunnah mana wajib”, untuk menolak perizinan
saya.
Siapa
yang tidak geram, manakala kegiatan positif yang terbingkai rapi dalam semangat
kebangkitan dan persatuan umat islam ingin kita ikuti, ditolak dengan sekelumit
alasan yang sekalipun tidak logis bagi mereka untuk mengizinkan kami, justru
malah tidak logis bagi saya akan dalih penolakannya. Namun, saya diam saja saat
itu.
Belum
lagi dengan diutusnya ratusan santri pondok Assyifa, MBS, Ibnu Juraim, yang
masih sama satu nafas Muhammadiyah, untuk terjun berpartisipasi dalam kegiatan
tersebut yang membuat kami hanya bisa mengelus dada dan menghela nafas manakala
disodorkan pertanyaan : “Muallimin ngirim berapa?” Dan lagi-lagi, saya hanya
memilih tersenyum saja.
Sungguh
hampir mendidih pula saya punya kuping mendengar celetuk, “Kalian ini semaangat
sekali ikut acara beginian. Sementara sholat Subuh dan Tahajud di Asrama tidak
kalian gerakkan? Logikanya dimana?” Hampir-hampir hasrat untuk membantah
sejadi-jadinya meledak, kalau tidak karena bersabar, setelah mendengar ungkapan
sinis demikian. Dan saya masih mencoba tenang dan diam dalam anggukan.
Barangkali
muncul pertanyaan di benak Tuan : mengapa hanya diam? Biasanya berontak?
Katanya, kalau argumen lemah dibantah? Takut? Dan sederet pertanyaan satu
kelamin lainya.
Justru
mengapa hanya anggukan dan senyuman yang saya suguhkan di ruang direksi kala
itu, tidak lain ialah karena jalan pemberontakan telah saya siapkan. Telah kami
sepakati bersama—sekalipun sejatinya saya paksa untuk sepakat—bahwa : diizinkan
ataupun tidak, tetap berangkat. Maka tidak perlulah kiranya saya ambil pusing
beralot-alot dengan madrasah. Toh, walaupun lampu merah yang akan diberikan
kami tetap bersikukuh nekat.
Tunggu
dulu, nekat? Bukankah kalau nekat rumusnya tidak perlu minta izin?
Sebentar.
Sebentar.
Kenapa
malah menunggu kepastian merah atau hijaunya? Tidakkah justru memperbesar
peluang tidak diizinkan, katamu?
Nanti dulu.
Ah,
bagaimana ini?
Tenanglah
Tuan, saya jelaskan!
Adalah
sebuah kenyataan bahwa abu-abu lebih saya senangi dan jauh lebih menguntungkan.
Hanya saja, selain “nge-tes” sikap dan berharap subsidi transportasi dari
madrasah, adakalanya kali ini kita mencoba naik kelas. Dari nekat menuju
(belajar) berontak. Bukan tanpa alasan, saya mencoba melatih menerapkan ini
pada saya sekaligus adek kelas saya. Bahwa jangan sampai ada pada kita sikap
bermental penurut dan nggah-nggeh saja.
Sebab
kita tidak tahu, nun jauh diluar sana, betapa banyak penyimpangan yang meminta
keberanian untuk dibereskan? Betapa tidak sedikit ketidak-adilan berkelindan
yang menuntut nyawa untuk dipertaruhkan? Betapa akan marak pula kebijakan
penguasa yang menyakitkan siapapun pemilik hati nurani, sehingga dibutuhkan
nyali untuk segera melabrak menghabiskan? Dan itu semua tidak dapat dicapai ketika
mental penurut dan idealisme abal-abal masih bersemayam. Dunia keras, kawan!
Saya
banyak berterimakasih pada mendiang Soe Hok Gie, melalui catatan harianya yang mengajarkan
untuk berani berontak melawan ketidak adilan dan kebenaran yang tergadaikan
kendatipun perih menyakitkan. Dalam beberapa keadaan, berontak adalah sebuah
jalan daripada kebuntuan penyelesaian. Selain menawarkan kedinamisan,
pemberontakan juga mempersyaratkan keberanian sekaligus nyali nekat yang tidak
serampangan.
Segelintir
pelaku sejarah telah mencuatkan namanya untuk dikenang dunia melalui jalan
“pemberontakan”nya. Musso di tragedi Madiun ’48 dan Amien Rais melalui
reformasinya ialah personifikasi nyata di negeri kita. Saya juga tidak segan
menyebut Lenin melalui revolusi oktobernya maupun fidel Castro di Kuba yang
mencengangkan.
Hanya
persoalan tujuan yang membedakan corak mereka. Ibarat pisau, besar manfaat kita
gunakan untuk masak dan boleh jadi untuk menyayat orang tak bersalah.
Selebihnya, disepakati bahwa mereka bukan tipe orang yang nggah-nggih saja.
Maka
singkat cerita, tanpa perizinan (lebih tepat tidak diijinkan) kami berangkat.
Bukan berontak abal-abal dan tanpa pertimbangan, kita punya komitmen dan main
cantik : Berangkat tetep, sekolah tetep!
Malam
itu, satu jam sebelum hari sabtu berakhir, sekitar 120 mujahid beranjak menuju
Masjid UAD. Ya, dengan 2 Truk tanpa subsidi madrasah. Walau demikian, ada saja
rezeki min haitsu la yahtasib. Tidak disangka-sangka. Kami bermalam
disana menanti sepertiga malam dan waktu subuh. Menanti pemaparan Ustadz
Fathurrahman Kamal dan Ustadz Bahtiar Natsir.
Dan
memang benar bahwa menjaga komitmen jauh lebih berat daripada membangunnya.
Untuk bisa satu komando memang harus melalui jalan berliku dan penuh duri.
Sudah dilewatipun, wal hasil saya masih alpha untuk betul betul menjaga semua.
Disepakati
bersama bahwa kita keluar sebelum selesai acara, karena harus sekolah. Dibawah
guyuran hujan ahad pagi dalam pukul 06.40, kami meninggalkan UAD. Dalam hal
ini, kecuali satu dua yang memang bertugas, semua satu komando. Namun untuk
merealisasikan komitmen langsung sekolah, beberapa kandas. Jujur saya kecewa
kendatipun jumlahnya dapat dihitug jari. Saya tidak habis pikir apa yang ada
dalam benak mereka. Overall, yasudahlah.
Saya masih bersyukur melihat sebagian besar yang lain bergegas mengganti baju muslim dengan seragam batik yang telah dibawa sejak awal. Dengan sepatu sudah dikaki pula, kami masuk Madrasah layaknya seperti sekolah biasanya. Buku pelajaran juga sudah kami bawa. Satu dua masuk dengan masih mengenakan sarung dan pakaian basah. Saya tidak peduli lagi madrasah tau atau tidak, saya hargai komitmen bersama mereka.
Hingga segelintir orang yang saya alpha menjaganya itulah, yang diperkarakan sekaligus dijadikan alasan utama dibalik pemanggilan saya.
Saya masih bersyukur melihat sebagian besar yang lain bergegas mengganti baju muslim dengan seragam batik yang telah dibawa sejak awal. Dengan sepatu sudah dikaki pula, kami masuk Madrasah layaknya seperti sekolah biasanya. Buku pelajaran juga sudah kami bawa. Satu dua masuk dengan masih mengenakan sarung dan pakaian basah. Saya tidak peduli lagi madrasah tau atau tidak, saya hargai komitmen bersama mereka.
Hingga segelintir orang yang saya alpha menjaganya itulah, yang diperkarakan sekaligus dijadikan alasan utama dibalik pemanggilan saya.
***
Di
dalam ruang direksi saat pemanggilan saya, percakapan yang terjadi tidak
terlalu panjang. Saya juga sedang tidak ingin berbantah-bantahan. Menghadap
wadir 3 sebentar, lalu berbincang banyak dengan direksi. Prinsipnya madrasah
kecewa. Ya, sebagaimana kecewanya saya terhadap tidak diizinkanya kami. Saya
diminta meminta maaf, dan saya lakukan itu. Sedikit berargumen, selesai. Saya
keluar tanpa satupun poin saya kantongi, lebih-lebih SP. Alhamdulillah tidak
sama sekali.
Dan
yang paling penting, kami telah melaksanakanya.
Tulisan
ini saya buat sebatas refleksi atas peristiwa yang sempat menyapa. Betapa
subjektifnya ini ialah sebuah keniscayaan yang tak perlu dibantah. Saya belajar
bahwa hidup menawarkan banyak arena pertarungan mendewasakan, yang terlalu
sayang untuk dilewatkan. Kalau kata Ulima Nabila, The world is as marvelous as
you make it!
Klaten, 21-24 Februari 2017
Komentar
Posting Komentar