Our Inspiration : Buya Zaini Munir


Persamaan tidak akan menggugah apa-apa untuk pengembangan diri. Tapi pertentangan justru mempunyai daya rangsang yang tinggi untuk kematangan intelektual dan emosianal” 
(Ahmad Wahib w. 1973)

* * *

Betapa memang sebuah keniscayaan bagi seorang yang menginjak dewasa untuk selalu berurusan dengan pergolakan dan disorientation. Apa yang dituturkan Buya Zaini Munir (Guru Aqidah) tempo hari, semakin menambah warna pada dinding orientasi masa depan. Apakah semakin elok, atau justru sebaliknya, keduanya menuntutku berpikir semakin terbuka. Mempeluas pandangan.

Bermula dari pertanyaan Aski ketika pelajaran Aqidah, tentang sikap apa yang harus diambil menghadapi keberadaan sebuah institusi di jakarta—sebut saja MI—yang dikhawatirkan “meracuni” pelajar melalui sebagian buku-bukunya dewasa ini : boleh tidak membubarkanya? Sebuah pertanyaan menarik dimana aku tidak ingin absen untuk menanggapi.

Ustadz Zaini Munir tidak menjawab to the point. Langkah bijak yang diambil ialah membangun kerangka berpikir anak didiknya. Menjauhi atau bahkan membakar buku-buku “racun” itu, kata beliau, lebih arif untuk dilakukan bagi kita—pelajar. Pasalnya, peluang terseret kedalamnya lebih besar mengingat benteng Aqidah yang masih rapuh.

Saraf berontakku serasa mendapat rangsangan, namun urung kulampiaskan setelah pernyataan beliau selanjutnya, yang seakan memukul telak gelagat ekspresiku.

“Diskusi, bertukar pikiran, bahkan mengkonfrontasikannya itu percuma saja, Mas. Ribuan kali saya mengalaminya. Ujungnya sama : Ndak bakal ketemu, sebab berangkatnya saja sudah berbeda. Alih-alih menyadarkan, menyelesaikan saja bukan main mustahilnya. Sampean Siapa, Mas?” tutur beliau.

Ini dia! Mataku tebelalak seraya hendak menimpali seketika. 1 detik selanjutnya, membuatku lagi-lagi mengurungkannya. Pertanyaan “siapa aku?” mengusik pikiran. Aku merasa diremehkan. Walau demikian, sejatinya akal sehat memebenarkan kalau itu menyadarkan. Ya, it’s simple thing. Siapa Saya?

Sejauh ini, apa yang aku terapkan adalah berpikir terbalik. Kalau nasehat yang bertebaran berbunyi, kuatkan dasar dahulu baru baca yang menyimpang, sungguh sengaja aku tidak demikian. Bukan tanpa pertimbangan, alasanku membiarkan diri ini (seakan) hanyut, adalah agar kudapati sebuah ruang yang mendialogkan kebenaran di kemudian.

Aku membaca SGKIuP(Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula)—yang membuatku sempat memuja komunisme—dahulu, sebelum mengetahui bangkrutnya ideologi biadab tersebut. Buku PPI(Pergolakan Pemikiran Islam) nya Wahib, juga sengaja kubaca duluan dan sempat terhipnotis, sebelum akhirnya tersenyum tersadarkan.

Sungguh berada dalam kegelisahan dan pergolakan itu sangat nikmat. Mendorong untuk (sempat) berani sedikit berbeda. Kalau tidak demikian, barangkali dialog yang menajamkan logika sekaligus meluaskan analisa tidak akan terjadi.

Baik, kembali ke persoalan.

Menanggapi pertanyaan Aski, aku sempat berpendapat bahwa perang pemikiran dibalas dengan pemikiran pula. Buku dibalas buku. Bagiku sungguh tidak bijak manakala bertindak radikal membubarkan sepihak. Namun, apa yang terjadi adalah diluar dugaan. Apa yang kuutarakan—untuk kesekian kalinya—berbeda 180° dengan Ustadz Zaini Munir.

“Kalau ditanya boleh tidak membubarkan, ya saya jawab boleh sekali. Silakan, Mas. Ide bagus itu malahan!” ujar beliau yang menarik saraf mulutku untuk makin melebar.

"Urusan “bagaiamana”-nya bagaimana, itu lain soal lagi. Ini kalau ditanya seperti tadi,” imbuh beliau. Baru saja ingin kupertanyakan, sudah di-tuntas saja.

Memang harus kuakui, samudra ilmu yang beliau kuasasi sungguh luas. Lebih-lebih segopok pengalaman berdebat yang tidak perlu diragukan lagi. Beliau adalah tokoh yang peduli akan masa depan umat dan berkomitmen tinggi padanya. Aku tidak habis pikir, bagaiamana Aqidah anak Mu’allimin kedepannya kalau menafikkan keberadaan beliau.

Ustadz Zaini Munir ialah laksana hujan ditengah kemarau panjang. Walau sekejap, hadirnya selalu dielu-elukan setiap jiwa yang rindu akan kesejukan.

Tulisan ini kuakhiri dengan gong pernyataan beliau dihadapan kami tempo hari :

“Sekarang, kalian belajar agama yang serius ke timur tengah. Digeluti sampai doktor bahkan profesor kalau perlu. Jangan di Barat. Bagaimanapun, saat ini gelar sangat penting sekali. Kalau hanya seorang lulusan Sarjana, siapa yang akan mendengar suaramu?” tutup beliau.

Bagai secercah cahaya dalam gelap, perkataan beliau membuka cakrawala berpikir yang luas. Selain idealis, kita harus strategis menempatkan diri ditengah arena kehidupan ini. Dengan demikian, pengabdian kita untuk umat, agama, dan bangsa semakin mudah terjembatani.

Big Thankyou, our inspiration. Doa kami selalu menyertai letih perjuanganmu, ustadz!

Al Mukarram Ustadz Zaini Munir


Yogyakarta, 20 Januari 2017          

Komentar

VIEWERS

Postingan Populer