Catatan (sebelum)Perjalanan
Banyak motif dibalik mengapa tulisan ini saya buat dengan harus. Mengabadikan proses yang layak diabadikan, menebar inspirasi kepada (barangkali) siapapun anda, menajamkan analisa, dan lain sebagainya. Dalam pada itu, sungguh alasan utama yang retoris sekalipun tidak logis ialah mengobati kesedihan yang tiada berkesudahan. Mungkin ini lebay, namun nyata bahwa diri ini galau melewati 2 minggu tanpa menuntaskan sebuah tulisan.
Bermula dengan notifikasi WA dari Ustad Joko Nursiyo (pernah mengajar di Muallimin) yang berisi informasi akan diadakan Dauroh Intensif Baca Kitab Kuning di Lamongan, seketika mata berbinar. Saat itu sedang liburan dan Dauroh akan di selenggarakan awal tahun, hal yang membuat binar saya mengernyit. Mana mungkin bisa berangkat sementara pada waktu yang bersamaan adalah hari awal masuk semester 2 dan KBM tidak mungkin ditinggalkan? Meninggalkan sekolah selama 2 minggu rasanya bukan perkara mudah untuk mendapat izin. Dekat kepada kemustahilan.
Namun bukan Hidanul Achwan bila menyerah dengan keadaan. Bagi saya, tidak ada harapan yang tidak bisa dicapai. Adagium arab mengatakan, “Himmaturrijaal tahdimul jibaal” semangat yang tinggi dapat megalahkan megahnya gunung. Selama masih ada Zat yang membolak-balikkan hati manusia dan kemauan kuat, perizinan apapun bukanlah hal yang tidak bisa ditembus. Ikhtiar saya mulai, bersama dengan kesadaran akan keterbukaan terhadap segala kemungkinan.
“Nekat, Dan?” Banyak yang bertanya, kalau-kalau ternyata kami tidak diizinkan. Pertanyaan yang susah rasanya dalam perkara ini wkwk. Untuk meg-iyakan sebagai jalan terakhir perlu banyak pertimbangan. Namun bila sebagai bahan bakar perjuangan tanpa ragu saya jawab IYA!
Izin Orang Tua tuntas, bahkan didukung. Hamdallah ini poin utama, penentu langkah selanjutnya. Haqqul yaqin, manakala seketika langsung saya urus perizinan dengan birokrasi Madrasah, 90% tidak diizinkan. Sebelum mengetuk hati jajaran direksi, tentu indah bila kita lebih dahulu mengetuk pintu Zat yang memiliki ‘hati-nya direksi’. Banyak doa, solat awal waktu, amalan sunah, serta membaiki hablun minannnas. Pendek kata, menunda ikhitiar dunia dahulu untuk memperbanyak ikhtiar langit. Memantaskan. Kira-kira begitu strategi saya.
Kemudian mendapat kabar dari rekan Mu’allimaat, bahwa mereka tidak mendapat restu direksi madrasah. Hmm saya sedih juga sebenarnya sekalipun pengen senyum-senyum sendiri hehe. Mereka ambil langkah cepat, langsung mengomunikasikan dengan direksi. “Sinyal tidak baik, “ kata mereka setelah mendapat respon madrasah. Sedikit saya sesalkan, betapa peluang akan kebih lebar ketika perizinan dilakukan dengan pertemuan tatap mata. Lebih-lebih datang bertamu, silaturahim, bawa makakanan.
Saya meluncur menembus terik perjalanan Klaten-Jogja hari kamis (29/12), setelah janjian sebelumnya untuk bertamu ke rumah wadir kesiswaan, Ustadz Dedik. Tiba di Jogja, singgah sejenak ke warung makan. Melepas penat dan panas. Seorang perempuan paruh baya mengahampiri menengadahkan tanganya. “Allah ngode saya, “ pikir saya. Dengan senyum saya beri uang sekalipun tidak seberapa, lalu minta didoakan supaya urusan saya dimudahkan. Menambah pundi-pundi. Lalu saya buka HP, Notif dari Ustad Dedik masuk. Janjian bertamu sore itu, ditunda sebab ada keperluan mendadak. Ugh tepat waktu. Hmm oke gapapa (tidak mbatin), masih diberi waktu ikhtiar doa lebih lama.
Keesokan harinya, semakin rumit. Janjian Jum’at sore hari itu, lagi-lagi dibatalkan. Kali ini saya yang kurang ajar membuat Ustad Dedik menunggu lama. Saat itu saya sedang membesuk Arifi—kawan bertukar pikiran sekaligus saling serang pemikiran—yang kabarnya sakit(sekaligus menambah pundi-pundi kepantasan). Pikir saya sore itu beliau Full selo di rumah, ah betapa bodohnya saya, mana mungkin sekelas wadir semudah itu selo.
Saya minta maaf sekenanya dan beliau mengajak besok harinya saja, pukul 8 pagi di Madrasah. Oke gapapa, sepertinya semakin susah mengambil hati beliau.
Betapa bertemu di Madrasah tidak akan menguntungkan saya, terlalu formal. Maka dengan sedikit lancang saya nekat bertamu ke rumah sebelum jam 8 pagi. 4 raka’at Dhuha saya sempatkan untuk menghadap Allah, sebelum menghadap ciptaanNya. Setelah meminta maaf atas segala kelancangan yang terjadi, saya letakkan sebungkus plastik berisi makanan di meja tamu. “Monggo ustad, ada titipan dari Ibu di rumah” ucap saya kemudian. Sejenak suana makin bersahabat, obrolan kian menghangat. Kelancangan sebelumnya seakan hanya angin lalu saja. Maksud bertamu saya sampaikan disertai dengan beberapa argumen-argumen logis. Ini unggulnya bertemu langsung. Selain obrolan yang tidak monoton, silaturahim semakin erat terikat. Singkat cerita, (seperti yang sudah kuduga) beliau meminta waktu untuk mempertimbangkan dengan jajaran direksi lainya. Lalu saya pulang, masih dengan segala ketidaktentuan.
Leyeh-leyeh di asrama, tiduran sambil melihat senyum-senyum orang yang sedang stalking instagram seseorang. Kebiasaan teman saya, yang kadang merambat ke saya, dan ndak perlu munafiq paling anda juga demikian(ga usah senyum). Tiba-tiba, dering tanda whatsapp masuk. Saya intip sedikit, dari Ustad Dedik. Deg! Ibarat menunggu pengumuman juara lomba, saya cemas cemas harap. Seketika HP saya matikan, meluncur ke kamar mandi. Ambil wudhu sekalian mandi (bukan mandi besar).
Posisi masih nihil, antara diizinkan dan tidak. Sengaja notif tidak saya buka saat itu juga. Lagi-lagi saya masih belum punya nyali, sebelum kembali menghadap yang maha menentukan. 4 raka’at lagi saya sempatkan dengan penuh kekhusyukan akan harapan doa terkabulkan. Terkadang sebagai manusia yang lemah, sholat dan doa baru benar-benar khusyuk manakala kita memiliki harapan yang besar, mendekati mustahil. Kita lebih banyak terlelap dalam bungkus kesenagan, sehingga ruh solat dan doa gersang tak terasakan.
Selesai solat dengan perasaan tenang yang luar biasa, sekalipun masih tak menentu kuberanikan diri membuka pesan WA ust Dedik. Kalem. Harus terbuka dengan segala kemungkinan.
Seperti seorang Ibu yang menemukan bayinya setelah hilang berhari-hari, bukan main betapa perasaan bahagia meresap menempati setiap sudut hati saya. Tanpa ba bi bu, sujud syukur seketika saya persembahkan kepada Allah yang tiada pernah mengecewakan hambanya. Rasanya, ingin menjelma saja sebagai Rabiah El Adawiah untuk membalas kecintaan Allah dengan kecintaan yang (mendekati)setimpal, sekalipun mustahil adanya. Apa yang saya yakini selama ini tidak berubah barang sedikitpun, Allah tidak akan mengecewakan hambanNya.
Kalau memang harus dengan harapan agar solat dan munajat terasa nikmat, maka menabur harapan dalam setiap hari-hari kita hukumnya wajib, kata saya. Harapan pula yang menjadi alasan segelintir orang untuk tetap bertahan hidup. Walau demikian, hanyalah bualan belaka saja manakala memiliki harapan tanpa ada usaha memantaskan pada keduanya : ikhitar langit dan di ikhtiar dunia.
Demikian, catatan (sebelum)perjalanan saya. Betapa tanda-tanda kebesaranNya pun banyak menyapa dalam perjalanan, yang terlalu sayang untuk tidak diabadikan. Dalam tempat lain barangkali. Semoga sedih lekas berkesudahan.
Lamongan-Kulonprogo-Yogyaķarta
13-16 Januari, 2017
Komentar
Posting Komentar