Kompilasi Manusia
“Aku
adalah kompilasi manusia-manusia” kataku dalam hati.
* * *
Sampai
detik ini, diam masih menjadi jawaban manakala pertanyaan tentang ciri khas
diriku dilabuhkan kepadaku. Gelagat seakan menunjukkan ketidak tahuan kukira
sipapun dapat menyimpulkanya. Dari sekian banyak teman yang kujumpai, mayoritas
memiliki ke-khasan positif yang melekat pada diri mereka; yang tidak jarang
membuatku gelagapan untuk mencoba menyamainya.
Arifi
dengan prinsip tegasnya, keras terhadap siapapun manakala saraf asumtifnya
diserang pihak lain; sekalipun lebih tua, penentangan akan ditampakkanya. Juga
prediksi-prediksi tentang penempatan dirinya di masa depan yang disampaikanya dengan gamblang serta penuh keyakinan, yang mungkin dianggap utopis oleh
sekalangan orang, namun tidak bagiku. Haqqul yakin, aku percaya dia
dapat mewujudkanya. Aku bukan Arifi, terlalu susah untuk melampauinya dalam hal
ini.
Aunillah
dengan segala kedinamisannya memposikan dirinya di segala segmen; menunjukkan
ketangkasan dan ke-profesionalnya yang menarik siapa saja untuk tidak
menganggapnya biasa, segala tentangnya. Juga kecakapan kemampuan berkomunikasinya
dengan segala kalangan—dari hirarki atas sampai bawah—yang menjadikanya saat
ini kaya dengan sejumlah jaringan—skala internasional sampai micro lokal—yang
aku yakin, ia merasa masih “miskin” dan mampu untuk menjadi irisan bagi dunia internasional
kemudian. Aku bukan Aunillah, amat berat untuk dapat setara dengannya.
Kholilulloh
dengan kepandaianya merangkul segala kalangan persaudaraan; menciptakan rasa
aman dan nyaman dalam setiap percakapan. Juga dengan kualitas pembaharuanya
akan pemaknaan kebersamaan yang seolah menjadi mata air, yang terus mengalir
menyusuri sudut-sudut sempit hati yang rindu akan kebahagian. Hingga tidak
heran, sikap ke-bapak-an layak disandangnya, tanpa penafikan sipapun yang
pernah membersamainya. Aku bukan Kholilulloh, tak kunjung bisa aku menyamainya.
Roisul-Ifan
dengan perhatianya yang tak pernah padam akan pentingnya kedudukan akademis
dalam hidup. Memahami bagaimana ia meletakkan prioritas, sebagaimana harapan
yang dilabuhkan orang tuanya. Belajar,
nilai maksimal, tugas terdepan, selalu mereka utamakan sebab sadar harus
dituntaskan. Sidiq-Fatwa dengan kebersihan hatinya lantaran keelokan perangainya
yang terpancar dari bagaimana mereka bersikap. Ibadah dan dekat kepada Allah
sekan menjadi pakaian yang tak pernah lepas dari keduanya. Dan aku bukan mereka
(Roisul-Ifan-Sidiq-Fatwa), keistiqomahan sering rapuh dan berat untuk melangkah
membersamai mereka.
Sekalipun
berkucuran darah dan bermandikan keringat, sepenuhnya kusadari aku tidak milik
ke-khasan mereka. Aku pernah tergopoh-gopoh, penat, bahkan frustasi. Semua
lelah yang terlewati tak sedikitpun menyapa kepuasaan. Bahagia tak kunjung
kunikmati. Lantas untuk apa semua ini?
Semesta
masih sama seperti dulu. Tak henti menebar ritme bagi kehidupan manusia. Kepada
prasangka baik manusia, ia senantiasa memancarkan energi positif yang akan
melegakan empunya. Dan hanya akan memperkeruh pekatnya prasangka bagi pemilik
buruk prasangka.
Yang
terakhir telah membuatku pincang tempo hari. Namun kini semesta berada di
pihakku. Apa yang telah menjadi gundah, dituntaskan oleh semesta. Ia
menyadarkan betapa akal yang dianugerahkan Allah tidak untuk disia-siakan. Pun
tidak hanya digunakan seperti semestinya. Akal mampu menjadi lebih dari yang
akal pikirkan. Melampaui tirani batas tabir yang dibuat oleh manusia sendiri.
Untuk
apa menjadi seperti mereka, sementara bekal akal mampu membuatku berbeda. Sama
baiknya sering tidak menyenengkan keduanya. Dalam beda, aku bisa melebihi
semuanya, sesuai kadar beda tentunya. Aku memang bukan Arifi, tapi aku adalah
Arifi dalam keunggulan yang khas bagiku. Aku bukan Aunillah seutuhnya, namun
ketangkasan Aunillah tidak menolak kudekati. Aku bukan Kholilulloh, tapi
kemampuan merangkul telah menjadi bagianku pula. Aku juga bukan Roisul-Ifan, namun benih ke-rajinan membasahiku dan tumbuh
subur kusuburkan. Bukan pula Sidiq-Fatwa yang superior dalam ibadah, namun
cahayanya terserap sempurna dalam tubuhku.
Sepenuhnya
aku sadar bukanlah mereka semuanya. Dan kepada semesta, terimakasih telah
menunjukkan mutiara kesadaran baru. Aku siap merawat tanaman heterogen yang
kian memancarkan irisan setiap keunggulan mereka, dengan akar yang mengakar
kuat dibawah kepribadian seorang manusia: Aku!
Ya,
aku adalah kompilasi manusia-manusia.
Komentar
Posting Komentar