Syarh Matan Status WA



Tidak selamanya perbedaan start dapat diterima sebagai alasan, atas ketertinggalan kita dari orang lain. Jauh lebih berbahaya, selalu menjadikannya sebuah kewajaran, sampai mati kita punya saraf daya saing.  
Jika benar-benar tertinggal, setidaknya kita sadar, tidak berada di kelas yang salah.
Jika harus tertinggal, setidaknya kita mengerti, ada banyak waktu harus diisi; menyelesaikan dua dalam satu hari, dan bukan sebaliknya. 
____

Kira-kira begitu matan status WA saya 2 hari yang lalu. Dua paragraf diatas, meminjam istilah para pengusung hermeneutika, tidak lahir dalam ruang sejarah dan budaya yang kosong. Ada asbabul wurud atau latar belakang dibalik tertulisnya kalimat-kalimat diatas. Utamanya tentu ketertinggalan saya dari teman-teman sekitar.

Di MAQURAA, banyak orang lebih hebat dari saya, baik dalam mutqinnya hafalan maupun fasihnya bacaan. Apalagi keilmuan, sudah kalah, jauh pula. Di bangku kuliah, saya juga masih tertegun menyaksikan kualitas tanya jawab mahasiswa Irak dengan dosen. Keberanian sebagian kawan-kawan Indonesia juga luar biasa. Sementara di Kawakib, sejak setahun yang lalu sampai sekarang, saya masih saja merasa paling bawah dalam memahami nahwu shorof.

Ketertinggalan yang sudah cukup lama saya rasakan itu, anehnya, tidak kunjung melahirkan peningkatan yang berarti. Rutinitas saya masih itu-itu saja; terlalu banyak waktu kosong berakhir sia-sia; tidur saya juga masih panjang.

Padahal siapapun tau, untuk menyamai bahkan melebihi seseorang, meniscayakan usaha yang lebih pula. Jika ia berlatih 7 kali seminggu, kita harus mampu 9 kali, bahkan 10 kali dalam seminggu. Kira-kira begitu, nasihat guru Silat saya dahulu.

Walaupun demikian, kondisi yang serba tertinggal ini jika disikapi dengan bijak dan bajik, akan melahirkan energi positif yang luar biasa. Kita seharusnya bersyukur atas kesadaran yang mahal ini. Betapa tidak sedikit orang tertinggal, namun tidak menyadarinya bahkan merasa santai-santai saja. Setelah sadar, kita bisa memperbaiki, lalu melesat lagi, tentu saja.

Rahasia Orang-orang Hebat

Sejak berinteraksi cukup banyak dengan buku-buku biografi tokoh besar, saya menemukan satu titik kesamaan diantara mereka. Ada kebiasaan tertentu yang mereka lakukan, dan tidak dilakukan oleh orang biasa kebanyakan.

Sebut saja Imam Abu Hanifah yang tidak tidur malam selama hampir 40 tahun. Imam Nawawi yang setiap hari belajar 12 maddah siang malam.  Di Indonesia, Muhammad Hatta memilih membaca sampai sengaja menumpahkan tinta di bajunya, untuk menolak ajakan pesta kawan-kawannya. Presidennya pun tidak kalah mengesankan. Sejak kecil, dibawah asuhan Cokroaminoto, Soekarno sudah biasa berdebat-berdiskusi dengan Musso (PKI) dan Kartosoewirjo (NII), sebelum akhirnya masing-masing memilih jalan juangnya sendiri.

Mereka yang namanya dicatat dengan tinta emas sejarah pasti memiliki kebiasaan yang 'tidak biasa'.  Saya juga percaya, bahwa mereka yang saat ini berada diatas saya, disamping telah menempuh jalan ikhtiar yang lebih panjang pasti juga memiliki rahasia atau kebiasaan tertentu.

Salah satunya saya dapatkan pagi tadi. Seperti biasa, setelah kajian kitab ba'da Subuh, beberapa mahasantri MAQURAA diminta menyampaikan ulasan materi yang telah dibahas. Terkadang, ada yang menambahkan beberapa analisa berdasar pengalaman pribadi.

Salah seorang teman saya tadi pagi, setelah mereview materi, bercerita pengalamannya. Ada hal menarik ia sampaikan. Dalam ceritanya, ia mengenang pernah merasakan pahitnya tinggal kelas; menanggung malu di hadapan teman-teman dan orang tua. Sampai titik ini, saya cukup tersentak. Mengapa?

Terus terang diantara teman-teman sefakultas di MAQURAA, ia paling menonjol, baik pemahaman maupun wawasan. Tidak hanya akademis, hafalan dan bacaan Alqurannya juga paling baik diantara kami. Sekelas itu, siapa sangka bila di masa lalunya ia pernah terjatuh dan gagal--suatu hal yang sering luput dari perhatian kita.

Tentu saja kemudian ia bangkit, sampai bisa menjadi seperti saat ini. Disamping ikhtiar dan tentu saja doa orang terdekatnya, ada satu hal menarik lagi yang ia lakukan. Ia mempercayai kekuatan mimpi. Tidak sekedar percaya, ia juga menuliskannya dalam buku khusus. Setiap malam sebelum tidur ia buka buku tersebut, ia baca dalam-dalam, lalu berdoa memohon ridho Sang Maha Kuasa.

Keberhasilannya dapat melanjutkan studi di Mesir ialah satu dari ratusan mimpi yang ia rangkai dan abadikan dalam bukunya sejak SMP. Ada ratusan mimpi lain lagi yang mungkin saja telah dan akan terwujud. Indah bukan?

Saya yakin, dari sekitar 70 mahasantri MAQURAA 90% lebih tidak melakukan kebiasaan tersebut. Ya, hanya orang-orang istimewa yang memiliki kebiasaan istimewa.

Saya sendiri sebetulnya tidak asing dengan hal tersebut, bahkan sempat menjadi pelaku sekalipun tidak detail itu. Namun menyaksikan pelaku lain berhasil, dan itu ialah teman saya sendiri, ibarat menyemburkan minyak tanah pada obor semangat dalam jiwa kita. Terbakar!

Ketertinggalan karena perbedaan start nyatanya tidak semenyedihkan yang kita kira, selama tidak membiarkan diri kita terjebak dalam mewajarinya. Hemat saya, semua kembali ke bagaimana kita mengambil sikap. Ada banyak potensi dibalik ketertinggalan kita, menyisakan diri kita yang hendak merawat lalu melesatkannya jauh-jauh atau membiarkannya layu bersama kemalasan dan keputusasaan?

Demikian syarah matan status WA saya, hehe. WaAllahua'lam.

Abbas El-Akkad,
1 Maret 2019

Komentar

  1. ibarat menyemburkan minyak tanah pada obor semangat dalam jiwa kita. Terbakar!.
    .
    .
    .
    hahahahaha,
    tulisan ini pun sama terbakarnya mas :)
    salam kesalamatan dari saya dan alam raya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya masih penasaran siapa anda sebenarnya. Tapi ndak papa, kehadiran komentarmu yang tiba-tiba dan kadang agak lucu, cukup membuat saya tertawa serta terhibur, dari serentetan kejenuhan. Salam keselamatan juga ya :)

      Hapus

Posting Komentar

VIEWERS

Postingan Populer