Nasihat Ustaz Asep Maulana
Beberapa waktu lalu, Kamis (22/11) suatu kesyukuran bagi saya berkesempatan bertemu tokoh penggerak dakwah Ustaz Asep Maulana. Beliau ialah Direktur Pondok Pesantren Tahfiz Quran (PPTQ) Abi Umi di Boyolali. Selain semangatnya yang luar biasa, retorika dakwahnya sangat menarik; membakar namun tetap halus dan menyentuh.
Ini juga tidak lepas daripada rasa syukur saya dapat bergabung dengan MAQURAA. Bersama majelis ini, saya banyak dipertemukan dengan orang-orang hebat dengan berbagai ragam sudut pandangnya, salah satunya Ustaz Asep ini. Berikut diantara beberapa poin yang sempat saya catat :
1. Memiliki hafalan yang tidak lancar sangat menyedihkan. Bahkan mengenaskan. Termasuk hal paling menyedihkan dalam hidup dibanding apapun ialah dilupakan oleh Alquran.
2. Kalau menengok sejarah, para sahabat menghafal Alquran sebagai wasilah (sarana) agar dapat menikmati tilawah; merasakan indahnya berkhalwat dengan Alquran. Saat itu Alquran belum dituliskan, satu-satunya cara ialah menghafal. Dan kenikmatan tersebut tidak akan tercapai kecuali dengan hafalan yang lancar.
3. Bagaimana agar hafalan lancar? Murajaah. Karena inti menghafal adalah mengulang. Bukan terburu-buru menambah. Kalau hafalan sudah hilang, bukan murajaah lagi namanya. Namun menghafal baru.
4. Tidak ada juz yang sulit, yang ada hanyalah kita yang malas murajaah. Memang butuh waktu. Sampai akhirnya kita tau, betapa nikmatnya hafalan lancar itu.
5. Lebih baik hafal sampai selesai sekalian baru dlancarkan, atau perlahan sambil melancarkan tapi lama? Dalam syariah, ketika 2 dalil bertentangan maka yang lebih kuat diambil. Antara murajaah dan menambah mana yang lebih rajih? Tentu saja murajaah. Kun mutqinan!
6. Jika kita memiliki kawan dekat, ia akan berusaha membantu kita sebaik mungkin. Bila tidak, boleh jadi belum dekat pertemanan tersebut. Begitupula dengan Alquran; ia tidak akan memberikan kenikmatan dan keutamaanya kecuali terhadap orang yang benar-benar dekat padanya. Bukan asal-asal cinta.
7. Sesibuk apapun kita disini, tetap masih bisa menghafal dan murajaah dengan hafalan berkualitas. Bahkan masisir relatif lebih luang. Tidak ada tugas, praktikum, seperti layaknya mahasiswa di Indonesia. Yang terpenting adalah Azzam. Selama ada kemauan kuat meluangkan, pasti dapat.
8. Di Indonesia, Kemenag belum menetapkan standar lancar hafalan Alquran. Satu juz dibaca berapa menit, salah berapa, kualitasnya, dlsb. Akibatnya setiap ponpes membuat standarisasi masing-masing. Resikonya, ada yang hanya menjual pemasaran. Setahun 10 juz, dua tahun khatam, bahkan dalam hitungan bulan-tanpa memperhatikan kualitas.
9. Saat ini banyak daurah cepat menghafal dan selesai. Sebulan khatam, 40 hari selesai, program dua bulan, dlsb. Saya tidak mengatakan itu buruk, hanya saja hakikat menghafal bukan demikian.
10. Hafalan lancar sekalipun lama (prosesnya) jauh lebih baik daripada cepat namun banyak lupanya. Murajaah lebih penting dari menambah hafalan. Teringat perkataan Ustaz Arief Wardhani, "Menghafal 1-2 tahun mungkin selesai. Namun muraja'ah seumur hidup, bahkan sampai mati. "
11. Menjadi guru merupakan wasilah utama melanggengkan ilmu. Di Indonesia, banyak hafiz-hafizah yang mutqin dan tamam bacaanya. Sayangnya, belum semuanya memiliki keinginan untuk kembali melahirkan hufaz baru kedepannya.
12. Bahkan untuk mengabdikan diri demi Alquran masih timbang sana-sini. Melihat kenyamanan, gaji, fasilitas. Akhirnya hanya pindah-pindah tempat. "Kasrotul intiqol, 'alamatul konyol," gurau beliau.
13. Kalau berbicara dunia, penghafal alquran lebih dibutuhkan saat ini dibanding lulusan sarjana (dalam beberapa hal). 1000 sarjana ekonomi belum tentu dapat mengangkat perekonomian bangsa. Namun dengan 1000 hafiz berkualitas? Kita lihat saja nanti.
14. Peran kita adalah mewarnai. Barangkali diantara sebab Indonesia tak kunjung maju, para ahlul quran masih kalah dalam mewarnai masyarakat. Peran kita adalah peran mempengaruhi.
15. Suatu ketika Khalid bin Walid meminta izin kepada Khalifah Umar untuk menaklukan suatu tempat. Namun Umar mencegah. "Sebentar, perang kita bukan sebatas otoritas, namun pengaruh. Wilayah yg akan ditaklukan belum tersentuh ajaran Islam. Kalau kita serang, mungkin saja menang, dan sangat mungkin terserang balik,"
16. Maka Khalifah Umar mengirim 100 orang sahabat untuk mengenalkan Islam; mewarnai masyarakat dengan ajaran serta keindahan Islam. Setelah terpengaruh, baru ditaklukan.
17. Begitu pula dalam perang Salib. Di balik sosok Salahuddin al-Ayyubi terdapat peran besar Imam al-Ghazali dan Abdul Qadir Jailani. Berjuang dengan pena dan pemikirannya membangun pemahaman umat lebih dahulu. Bahkan dikatakan, bahwa yang dilakukan Salahuddin al-Ayyubi tidak lain merupakan finishing.
18. Mengutip Dr. Ali as-Sholabi, "Kemenangan umat islam secata politik dan militer, didahului dengan kemenangan dalam dunia sosial, budaya, dan keilmuan." Intinya adalah kekuatan pengaruh.
19. Berani memilih-milih. Kalau lingkungan kita ikhtilat, berani tinggalkan saja. Ketika sudah menjadi penghafal Alquran, prioritas utama kita adalah Alquran. Kalau lingkungan tidak sesuai, tinggalkan.
20. Kita mau tinggal dimana, dengan siapa, memilih jodoh siapa, pilih yang dekat dengan Alquran.
21. Jika kita memiliki komunitas, dan justru menjauhkan dari Alquran, tinggalkan. Jangan takut memilih dan memprioritaskan Alquran. Dalam memilih, segala pertimbangan dalam hidup kita adalah Alquran.
Wafaqanallahu waiyyakum jami'an.
Ini juga tidak lepas daripada rasa syukur saya dapat bergabung dengan MAQURAA. Bersama majelis ini, saya banyak dipertemukan dengan orang-orang hebat dengan berbagai ragam sudut pandangnya, salah satunya Ustaz Asep ini. Berikut diantara beberapa poin yang sempat saya catat :
1. Memiliki hafalan yang tidak lancar sangat menyedihkan. Bahkan mengenaskan. Termasuk hal paling menyedihkan dalam hidup dibanding apapun ialah dilupakan oleh Alquran.
2. Kalau menengok sejarah, para sahabat menghafal Alquran sebagai wasilah (sarana) agar dapat menikmati tilawah; merasakan indahnya berkhalwat dengan Alquran. Saat itu Alquran belum dituliskan, satu-satunya cara ialah menghafal. Dan kenikmatan tersebut tidak akan tercapai kecuali dengan hafalan yang lancar.
3. Bagaimana agar hafalan lancar? Murajaah. Karena inti menghafal adalah mengulang. Bukan terburu-buru menambah. Kalau hafalan sudah hilang, bukan murajaah lagi namanya. Namun menghafal baru.
4. Tidak ada juz yang sulit, yang ada hanyalah kita yang malas murajaah. Memang butuh waktu. Sampai akhirnya kita tau, betapa nikmatnya hafalan lancar itu.
5. Lebih baik hafal sampai selesai sekalian baru dlancarkan, atau perlahan sambil melancarkan tapi lama? Dalam syariah, ketika 2 dalil bertentangan maka yang lebih kuat diambil. Antara murajaah dan menambah mana yang lebih rajih? Tentu saja murajaah. Kun mutqinan!
6. Jika kita memiliki kawan dekat, ia akan berusaha membantu kita sebaik mungkin. Bila tidak, boleh jadi belum dekat pertemanan tersebut. Begitupula dengan Alquran; ia tidak akan memberikan kenikmatan dan keutamaanya kecuali terhadap orang yang benar-benar dekat padanya. Bukan asal-asal cinta.
7. Sesibuk apapun kita disini, tetap masih bisa menghafal dan murajaah dengan hafalan berkualitas. Bahkan masisir relatif lebih luang. Tidak ada tugas, praktikum, seperti layaknya mahasiswa di Indonesia. Yang terpenting adalah Azzam. Selama ada kemauan kuat meluangkan, pasti dapat.
8. Di Indonesia, Kemenag belum menetapkan standar lancar hafalan Alquran. Satu juz dibaca berapa menit, salah berapa, kualitasnya, dlsb. Akibatnya setiap ponpes membuat standarisasi masing-masing. Resikonya, ada yang hanya menjual pemasaran. Setahun 10 juz, dua tahun khatam, bahkan dalam hitungan bulan-tanpa memperhatikan kualitas.
9. Saat ini banyak daurah cepat menghafal dan selesai. Sebulan khatam, 40 hari selesai, program dua bulan, dlsb. Saya tidak mengatakan itu buruk, hanya saja hakikat menghafal bukan demikian.
10. Hafalan lancar sekalipun lama (prosesnya) jauh lebih baik daripada cepat namun banyak lupanya. Murajaah lebih penting dari menambah hafalan. Teringat perkataan Ustaz Arief Wardhani, "Menghafal 1-2 tahun mungkin selesai. Namun muraja'ah seumur hidup, bahkan sampai mati. "
11. Menjadi guru merupakan wasilah utama melanggengkan ilmu. Di Indonesia, banyak hafiz-hafizah yang mutqin dan tamam bacaanya. Sayangnya, belum semuanya memiliki keinginan untuk kembali melahirkan hufaz baru kedepannya.
12. Bahkan untuk mengabdikan diri demi Alquran masih timbang sana-sini. Melihat kenyamanan, gaji, fasilitas. Akhirnya hanya pindah-pindah tempat. "Kasrotul intiqol, 'alamatul konyol," gurau beliau.
13. Kalau berbicara dunia, penghafal alquran lebih dibutuhkan saat ini dibanding lulusan sarjana (dalam beberapa hal). 1000 sarjana ekonomi belum tentu dapat mengangkat perekonomian bangsa. Namun dengan 1000 hafiz berkualitas? Kita lihat saja nanti.
14. Peran kita adalah mewarnai. Barangkali diantara sebab Indonesia tak kunjung maju, para ahlul quran masih kalah dalam mewarnai masyarakat. Peran kita adalah peran mempengaruhi.
15. Suatu ketika Khalid bin Walid meminta izin kepada Khalifah Umar untuk menaklukan suatu tempat. Namun Umar mencegah. "Sebentar, perang kita bukan sebatas otoritas, namun pengaruh. Wilayah yg akan ditaklukan belum tersentuh ajaran Islam. Kalau kita serang, mungkin saja menang, dan sangat mungkin terserang balik,"
16. Maka Khalifah Umar mengirim 100 orang sahabat untuk mengenalkan Islam; mewarnai masyarakat dengan ajaran serta keindahan Islam. Setelah terpengaruh, baru ditaklukan.
17. Begitu pula dalam perang Salib. Di balik sosok Salahuddin al-Ayyubi terdapat peran besar Imam al-Ghazali dan Abdul Qadir Jailani. Berjuang dengan pena dan pemikirannya membangun pemahaman umat lebih dahulu. Bahkan dikatakan, bahwa yang dilakukan Salahuddin al-Ayyubi tidak lain merupakan finishing.
18. Mengutip Dr. Ali as-Sholabi, "Kemenangan umat islam secata politik dan militer, didahului dengan kemenangan dalam dunia sosial, budaya, dan keilmuan." Intinya adalah kekuatan pengaruh.
19. Berani memilih-milih. Kalau lingkungan kita ikhtilat, berani tinggalkan saja. Ketika sudah menjadi penghafal Alquran, prioritas utama kita adalah Alquran. Kalau lingkungan tidak sesuai, tinggalkan.
20. Kita mau tinggal dimana, dengan siapa, memilih jodoh siapa, pilih yang dekat dengan Alquran.
21. Jika kita memiliki komunitas, dan justru menjauhkan dari Alquran, tinggalkan. Jangan takut memilih dan memprioritaskan Alquran. Dalam memilih, segala pertimbangan dalam hidup kita adalah Alquran.
Wafaqanallahu waiyyakum jami'an.
Komentar
Posting Komentar