Menghafal untuk Memahami, atau Sebaliknya?

Daurah Pemetaan Keilmuan Islam Ruwaq Syariah
--

Ini adalah pertamakali saya menjadi peserta resmi Muhadhoroh. Setelah sebelumnya iseng dan asal masuk karena tidak diabsen, kini nama saya resmi tercatat, walaupun bukan untuk bangku kuliah.

Karena ini hari pertama tentu saja ramai berdesakan. Banyak yang tidak mendapat kursi dan harus berdiri. Sebagian lagi rela duduk dilantai beralaskan sandal. Ditambah lagi suhu musim panas yang mencapai 40° C. Lengkap sudah rekoso kami.

Suasana yang sebetulnya tidak kondusif, namun tidak mengurangi semangat meneguk ilmu salah seorang dari kami. Terbukti tidak ada yang meninggalkan ruangan, hanya karena sebab sebab diatas.

Ada 3 pelajaran yang disampaikan hari itu: Ushul Fiqh, 'Ulumul Qur'an, dan Mustholah Al-Hadis. Bagi saya pemaparan Syaikh Abu Yazid Ali Salamah, Pengajar Ushul Fiqh, ialah diantara yang menarik. Sebagai pembicara pertama beliau meletakkan fondasi pada kami; apa saja yang harus dipersiapkan seorang penuntut ilmu.

Ada 5 hal atau boleh dikatakan tahapan dalam proses menuntut ilmu.

1. Niat
2. ‎Istima'/Listening (Mendengarkan)
3. ‎Memahami
4. ‎Menghafal
5. ‎Menyebarkan

Masalah niat saya rasa sudah populer dan sering diulas. Untuk yang kedua, ini harus dipahami karena sumber dan referensi agama islam banyak tertulis dalam bahasa arab. Sementara kosakata bahasa arab amat banyak. Jangankan huruf, berbeda harakat saja sudah merubah makna.

Guru Bahasa Arab saya pernah menjelaskan jumlah kosakata dalam bahasa arab mencapai 12 Juta, jauh lebih banyak dibanding bahasa inggris yang hanya berkisar 600 Ribu kata. Karenanya, listening sangat penting dibiasakan sejak awal. Bahkan sejak belia.

Poin kelima, tentang menyebarkan, yang dimaksudkan ialah menyampaikan ilmu yang kita miliki. Baik melalu lisan, tulisan, atau perantara lainnya.

Sengaja saya tinggalkan poin ketiga dan keempat, yakni memahami dan menghafal. Ada sesuatu cukup menarik. Dimulai dengan pertanyaan beliau,

"Mengapa memahami didahulukan sebelum menghafal?"

Agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami apa yang dihafalkan. Atau pemahaman keliru, bahwa dengan menghafalkan sesuatu itu dirasa sudah cukup.

Beliau mencontohkan, ada siswa hafal 'Alfiyah' karya Imam Ibnu Malik lalu ketika diuji soal nahwu aplikatif, bukannya menjawab mana Mubtada' mana Khobar, malah menuliskan nadhom kaidah tentangnya.

Tentu saja tidak semua penghafal 'Alfiyah' Ibnu Malik demikian. Setidaknya itu gambaran, bahwa ilmu itu untuk dipahami. Bukan untuk dihafalkan. Pemahaman yang baik menghasilkan manifestasi yang luas, juga dinamis dalam menghadapi persoalan. Sementara modal hafalan saja cenderung kaku dan sempit.

Memahami untuk memudahkan dalam menghafal.

Kira-kira itu juga yang saya terapkan dalam usaha menghafal Al-Qur'an kali ini. Bahasa arab dan nahwu yang saya pelajari disini, memudahkan saya untuk menghafal juga memahami. Bahkan lebih cepat. Sedikitnya, kita tau apa yang kita hafal. Sebab Al-Qur'an bukan mantra yang asal keluar dari mulut tanpa tahu maknanya.

Al-Qur'an diturunkan juga bukan untuk dihafalkan, melainkan untuk dipahami. Bagaimana Al-Qur'an dapat berfungsi sebagai petunjuk manusia? Ya dengan dipahami. Bukan dihafalkan (saja). Menghafal adalah wasilah (perantara) dan bukan tujuan. Esensinya ialah pemahaman.

"Yang penting hafal dulu, suatu saat pasti akan ada waktunya untuk paham?"

Benar. Saya sepakat, bahkan memang ada keutamaan khusus bagi para penghafal Al-Qur'an. Persoalannya, kita tiada mengerti, sampai kapan diberikan kesempatan hidup di dunia?

Disisi lain, terus terang, saya juga tidak sepenuhnya setuju bahwa memahami didahulukan sebelum menghafal. Terlebih ketika kita lihat riwayat hidup para ulama pendahulu. Sejak sebelum baligh, Al-Qur'an, Hadis, dan matan-matan ilmu lainnya, telah mereka hafal bahkan diluar kepala.

Imam Syafi'i 7 tahun telah hafal Al-Qur'an pakar fiqh. Ibnu Khaldun juga 7 tahun, seorang pakar sejarah dan politik. Imam Suyuthi hafal diusia 8 tahun memakari banyak cabang ilmu. Ibnu Hajar 9 tahun, pakar hadis. Dan masih banyak lagi lainnya.

Dan memang seperti itulah idealnya. Manhaj yang diterapkan ulama terdahulu terbukti luarbiasa. Mereka tidak memulai belajar ilmu syari'ah kecuali setelah menghatamkan hafalan Al-Qur'an; digembleng menghafal sejak kecil, lalu memahami dan mengamalkan setelahnya. Dalam hal ini, tentu saja menghafal lebih utama didahulukan.

Dampaknya sangat terasa. Saya pernah menghafal beberapa bagian matan nahwu. Ketika guru di kelas saya menjelaskan pelajaran, seolah saya telah memegang pijakan dasarnya. Ilmu yang disampaikan saat itu juga menjadi lekat, karena telah sempat terikat. Maka disini berlaku sebaliknya, menghafal akan memudahkan dalam memahami.

Jadi, memahami untuk memudahkan dalam menghafal, atau menghafal untuk memudahkan dalam memahami?

Hehe. Sejak awal saya memang tidak bermaksud menjadikan keduanya dalam oposisi biner. Baik mengahafal atau memahami dulu, keduanya memiliki keutamaan masing-masing. Poinnya adalah tidak mencukupkan hanya pada salah satu dari keduanya.

Tidak berhenti pada khataman hafalan, namun mengembangkan dengan memahaminya. Juga tidak mencukupkan diri dengan memahami, melainkan mengikatnya dengan hafalan.











Komentar

VIEWERS

Postingan Populer