Oh, Ilmu Mawarits


Pertama kali saya belajar Ilmu Mawarits itu dulu waktu kelas 6 di Muallimin. Itu pun pas akhir-akhir, menjelang UAMBN atau UN kalau tidak salah. Masih teringat betul dulu Ustaz Asep Shalahuddin yang mengajari kami menghitung tentang pembagian harta waris. 

Seingat saya, dulu itu kayaknya simpel dan relatif mudah. Soal-soal pengayaan dan UN nyatanya juga bisa kami libas tuntas. Saya yang memang cukup seneng matematika, merasa Mawarits tidaklah seberapa. 

"Yah, ini sih matematika dasar," kira kira begitu mungkin dulu saya mbatin. 

Setelah lulus pesantren, saya tidak lagi berinteraksi kembali dengan ilmu itu. Tiga tahun lebih lah ga pernah disentuh kembali. Sampai akhirnya di tingkat 3 atau semester 5 ini, kami dipertemukan kembali. Ilmu Mawarits menjadi salah satu pelajaran yang akan diujikan pada termin satu besok ini. 

Bahkan, konon, pelajaran ini menjadi momok bagi para mahasiswa. Kata para senior, tidak sedikit yang rasib atau gagal di maddah ini. Duktur di kuliah pun membenarkan hal tersebut, katanya banyak yang nyangkut di sini. Nah, kan ngeri tuh. Makannya saya cukup penasaran. Memangnya sesusah apa sih? 

Dan setelah saya coba pelajari, beneran rumit rupanya. Tidak sesederhana yang dulu saya pahami atau pernah diajarkan. Bahkan ketika mencoba baca diktat sendiri (tanpa guru atau bimbingan) aja, ga faham-faham dong. Haha. Kurang ajar emang dulu saya belagu banget. 

Rupanya buanyak sekali hal-hal baru yang belum pernah saya pelajari. Akhwal-akhwal Ashabul Furud, Masalah Musytarokah, Akdariyah, Umariyatain, Rad, Tashih, Aul, dlsb. Oh, sungguh njlimet dan asing sekali (pertanda bahwa yang dipelajari dulu masih kulit-kulitnya saja). 

Dan seperti halnya kerumitan-kerumitan lain dalam sebuah ilmu, kalau kita mau tekun dan berusaha lebih keras mengurai kerumitan itu, ketika dibuka setitik saja pintu pemahaman, wah, serius nikmatnya luar biasa betul. Semacam ada kebahagiaan tersendiri yang susah untuk diungkapkan. 

Kalau sudah begitu, biasanya akan merasa tertantang lalu lebih semangat lagi mempelajarinya. Pada titik-titik tertentu, hal tersebut akan mengakibatkan rasa candu. Ya, sebuah kecanduan dalam belajar. Beruntunglah orang yang bisa sampai tahap itu. 

Mempelajari Ilmu Mawarits sendiri merupakan suatu hal yang mulia dan sangat dianjurkan secara khusus. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda: 

‎تعلموا الفرائض وعلموها، فإنها نصف العلم وهو ينسى وهو أول شيء ينزع من أمتي

‎ (أخرجه ابن ماجه رقم ٢٧١٩)

"Pelajarilah ilmu Faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia, sesungguhnya ia adalah separuh ilmu, dan dia akan dilupakan, dan dia adalah ilmu pertama yang akan dicabut dari umatku" 

Selain itu, dengan mempelajari ini kita juga akan mengetahui hikmah dan rahasia di balik mengapa pembagian jatah satu laki-laki sama dengan dua perempuan; lebih melihat Islam sebagai agama yang luar biasa sampai memperhatikan pada hal-hal sedetail ini; juga sekaligus mewarisi warisan berharga para ulama terdahulu. 

Kata temen saya yang rajin kuliah, suatu ketika Duktur pernah menyampaikan kira-kira begini, "Kalian 4 tahun di Jurusan Syariah kalau misal tidak bisa menguasai apa-apa kecuali Ilmu Mawarits, ini sudah lebih dari cukup sebagai bekal kamu pulang ke negaramu. Sebaliknya, sekiranya kalian mampu memahami semua ilmu di Syariah, tapi tidak menguasai Mawarits, kalian masih belum mendapat apa-apa. Status kalian sebagai mahasiswa Syariah perlu ditanyakan kembali."

Nah, kalau di foto ini, ceritanya saya lagi berdebat panjang dengan Ruli. Perdebatan yang cukup panas dan menarik lah. Hahaha. Persoalannya ialah ketika seseorang meninggal, lalu meninggalkan ahli waris istri, ibu, 2 saudara kandung dan 2 saudara tiri (seibu), apakah dalam kondisi ini kedua saudara kandung memperoleh ashobah atau ikut berserikat dalam pembagian sama rata (musytarokah) bersama para saudara tiri? 

Madinah Zahro, 

31 Desember 2020

Komentar

VIEWERS

Postingan Populer