Begadang bersama Buku Puthut EA

Tulisan ini ialah sebuah draft pada pertengahan Maret lalu yang belum terselesaikan. Kemudian demi kepentingan merawat kembali blog saya tulisan ini baru disempurnakan pagi ini, Kamis 4 Juni 2020 pukul 00.24 CLT. Selamat membaca. 

--

Saya tipikal orang yang rela mengorbankan beberapa hal, yang terkadang penting, untuk sekedar mendapatkan beberapa  hal lain yang mungkin tidak penting, namun belum tentu momen itu terulang pada waktu yang akan datang. 

Salah satunya begadang. Sejak akhir kelas tiga Aliyah, entah mengapa saya cukup terobsesi untuk mencoba bisa begadang. Mungkin pengaruh beberapa buku biografi. Mungkin, tapi saya tidak terlalu yakin. Karena yang dilakukan juga tidak selalu berfaedah. Kadang membaca buku, tulisan kawan atau sekedar menulis refleksi. Tidak jarang hanya stalking atau sekedar mengenang foto-foto lama. 

Namun yang bikin candu, saya sering mendapat sudut pandang baru atau inspirasi tiba-tiba ketika begadang. Suatu hal yang boleh jadi tidak saya temui pagi atau siang harinya. Semacam refleksi sekaligus energi baru untuk menjalani hari-hari selanjutnya.

Ya, sekalipun saya juga sadar, diantara resiko begadang ialah pagi harinya pasti akan tertidur cukup panjang, kehilangan beberapa hal berharga. Namun toh tidur cukup atau tidak malamnya, nyatanya pagi hari saya kadang juga tetap masih tidur. Sama saja. Ya mending malamnya tidak tidur. Lagipula juga masih libur. 

Seperti juga malam ini (pertengahan Maret). Saya akhirnya memutuskan terjaga sampai Subuh ketika novel Puthut EA berhasil memanjakan saya untuk duduk lebih lama, sampai selesai halaman terakhir. Judulnya 'Seorang Laki-laki yang Keluar dari Rumah'. Ada dua cerita. Yang pertama berhari-hari baru selesai. Yang kedua hanya dua kali duduk, dan ini bagi saya yang amat menarik. 

Cerita yang kedua mengisahkan seorang laki-laki yang membantu menyelesaikan persoalan rumah tangga sahabatnya. Konflik tentang cinta, pernikahan dan, ya, masa lalu (mantan). Sebuah penggambaran realitas kehidupan manusia dewasa yang kompleks, rumit, namun penuh pelajaran berharga. 

Kisah keluarga kecil dengan satu anak laki-laki tersayang, kehidupan mapan, penuh cinta dan tentu saja bahagia. Dengan itu semua mereka benar-benar hidup bahagia, sampai akhirnya badai cinta masa lalu menyulut percikan api rumah tangga tersebut.

Badai cinta itu ialah kisah cinta Budiman, sang suami, dengan teman lamanya (mantan) yang belum benar-benar selesai. Sebuah pertemuan yang tidak direncanakan sukses merusak cara kerja memori Budiman dalam menempatkan masa lalunya. Pintu kenangan yang sudah ia tutup rapat-rapat, seketika terbuka kembali, memanggil-manggil ingin diraih. 

Kisah cinta Budiman dan teman perempuannya memang belum selesai, bahkan terkesan menggantung, sampai salah satu dari keduanya memutuskan untuk menikah namun dengan orang lain. Semua baik-baik saja, sampai pertemuan itu mengacaukan segalanya. Budiman kalut. Istri dan anaknya harus turut menanggung beban masa lalu itu. Rumah tangga yang sempat harmonis dan bahagia tinggalah cerita. 

Begitulah cara kerja masa lalu. Seseorang harus selesai dengan dirinya sendiri. Kisah lama yang tidak tegas tersebut, ketika dibiarkan demikian hanya akan merusak hubungan baru setelahnya. Dan ini menjadi fatal jika hubungan baru tersebut ialah sebuah pernikahan, seperti yang dialami Budiman dalam tokoh tersebut. 

Heuhh... Entahlah. Belakangan mendadak saya seperti haus pandangan tentang masa depan. Secara khusus memang bab cinta dan pernikahan. Sebetulnya bukan karena ngebet atau mendadak ada tawaran, bukan. Saya masih jauh dan mungkin akan sedikit lebih lama. Hanya saja, ketika suatu hal sempat terjadi, saya seperti terpukul bahwa ternyata saya masih belum mempersiapkan hal ini dengan baik. Harus lebih banyak belajar lagi. 

Namun Puthut EA dengan cerita dan gaya bahasa percakapannya yang khas dan sangat membumi benar-benar telah menasihati saya dalam banyak hal. Termasuk bagaimana cara tokoh utama, sahabat Budiman, dalam membantu menyelesaikan persoalan ini juga sangat bijaksana. Sayangnya tentu saya tidak mungkin menuliskannya. Akan lebih baik jika membacanya sendiri dalam buku. 

Namun untuk sekedar berbagi pelajaran, berikut beberapa kutipan dialog dalam cerita:

"Tidak selalu ada hubungan antara pernikahan dengan cinta. Cinta, ya, cinta. Menikah, ya, menikah. Hanya orang yang beruntung jika bisa saling mencintai lalu menikah."

"Banyak pernikahan terjadi bukan karena rasa cinta. Karena kesatuan semacam visi saja bahwa mereka harus menikah, membangun rumah tangga, menjalankan rumah tangga itu sebagaimana sebuah lembaga dan tidak bahagia,"

"Bahagia itu tidak harus karena cinta. Itu hal yang berbeda. Kamu lapar malam-malam, terus tidak ada makanan, terus kamu masak nasi goreng, nggak begitu enak, tapi kamu kenyang. Kamu bahagia. Orang berumah tangga tidak karena cinta, tapi karena memang sudah saatnya menikah. Mereka berdua cocok. Lalu menikah. Lalu mereka bahagia. Ya, sesederhana itu.."

Mungkin kutipan diatas sedikit pahit dan kita berharap memperoleh hal yang lebih dari itu. Namun sebagai insight, hal-hal seperti justru sangat mahal. Kita mampu melihat dunia dengan perspektif yang lebih luas. Sekalipun hanya fiksi, namun itulah gambaran realitas kehidupan nyata. Bahwa menikah bukan hanya soal bahagia-bahagianya saja, melainkan sebuah tanggung jawab yang harus dipersiapkan.

Kira-kira begitu saya mendapat banyak pelajaran. Kalau saja saya menghatamkan buku ini pagi, siang atau sore harinya, mungkin tidak sempat untuk menuangkannya. Sekiranya ditangguhkan, belum tentu malamnya saya juga masih dengan keinginan dan semangat yang sama. Setidaknya, begitulah mekanisme kerja begadang. 

Oiya, terkait cinta dan pernikahan, mungkin saat ini saya memilih untuk sedikit lebih santai. Tetap mempersiapkan, namun tidak mau terlalu mikir berat masalah ini-itu dan siapalah nanti sosoknya. Meskipun, berdoa sih iya hehe. 

Ya, setidaknya begitu untuk satu-dua tahun ke depan. Saya masih lebih ingin fokus dengan target-target akademis saya, mengejar ketertinggalan saya dan berusaha untuk tidak jatuh cinta dulu sebelum waktunya. Kalau memang harus jatuh cinta, semoga itu kepada ilmu dan para ulamanya, kepada guru-guru saya. 


Di suatu malam, 
Pertengahan Maret 2020. 

Komentar

VIEWERS

Postingan Populer